Experiential Learning (Pembelajaran Pengalaman)
di Pesantren Raudhatul Irfan
Penulis : Irfan Soleh
Beberapa hari ini penulis membaca sebuah buku yang berjudul Sekolah Biasa Saja karya Toto Rahardjo. Pada pembahasan Metodologi yang dipakai di sekolah Salam, beliau mengutip sebuah ungkapan "saya dengar, saya lupa; saya lihat, saya ingat; saya lakukan, saya faham; saya temukan, saya kuasai". ungkapan tersebut sering dikaitkan dengan filosofi pendidikan Tiongkok kuno dan dianggap berasal dari pemikiran Konfusius. Namun, bukti langsung yang menunjukkan Konfusius sebagai penulis atau pencetus frasa ini sulit ditemukan dalam literatur klasik. Istilah ini lebih merupakan interpretasi dari pendekatan belajar yang mendorong pengalaman langsung dalam memahami dan menguasai suatu keterampilan atau konsep. apa yang dimaksud dengan istilah atau ungkapan tersebut? adakah kaitannya dengan Experiential Learning Model karya David Kolb? bagaimana implementasinya di Pesantren khususnya di Raudhatul Irfan?
Secara umum, istilah "Saya dengar, saya lupa. Saya lihat, saya ingat. Saya lakukan, saya paham" menunjukkan tingkatan dalam pemahaman dan penguasaan ilmu: Saya dengar, saya lupa yaitu Menunjukkan bahwa pengetahuan yang hanya didengar sering kali tidak bertahan lama dalam ingatan. Saya lihat, saya ingat yaitu Pengalaman melihat membuat informasi lebih mudah diingat daripada sekadar mendengar. Saya lakukan, saya paham yaitu Ketika seseorang mempraktikkan suatu ilmu atau keterampilan, pemahaman yang lebih mendalam terjadi. Saya temukan, saya kuasai yaitu Melalui eksplorasi dan pengalaman langsung, seseorang dapat memahami konsep secara menyeluruh dan menjadi mahir.
Istilah ini mendukung pendekatan pembelajaran pengalaman (experiential learning), yaitu proses belajar yang lebih berpusat pada pengalaman langsung daripada hanya sekadar teori. Konsep ini juga sejalan dengan Experiential Learning Model dari David Kolb (1984), yang menyatakan bahwa belajar terjadi lebih efektif melalui siklus pengalaman, refleksi, konseptualisasi, dan eksperimen yang dibahas dalam buku nya yang berjudul buku Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. Experiential Learning Model atau Model Pembelajaran Eksperiensial adalah pendekatan belajar yang menekankan pada pengalaman langsung sebagai dasar utama dalam proses pembelajaran.
Model Pembelajaran Eksepriential menyatakan bahwa belajar terjadi melalui siklus pengalaman yang melibatkan langkah-langkah berikut: Pertama, Pengalaman Konkret (Concrete Experience) yaitu Siswa mengalami suatu aktivitas atau situasi secara langsung. Ini adalah tahap di mana mereka "melakukan" sesuatu dan mengalami hal baru. Kedua, Observasi Reflektif (Reflective Observation) yaitu Setelah pengalaman terjadi, siswa merenungkan pengalaman tersebut, melihat detailnya, dan mengamati bagaimana proses itu berjalan. Ketiga, Konseptualisasi Abstrak (Abstract Conceptualization): Dari hasil refleksi, siswa mulai membentuk konsep, ide, atau teori berdasarkan pemahaman yang diperoleh dari pengalaman. Kemudian terakhir yang keempat Eksperimen Aktif (Active Experimentation) yaitu Tahap ini melibatkan penerapan konsep atau ide yang sudah dibentuk dalam situasi baru, untuk menguji dan melihat bagaimana konsep tersebut bekerja dalam berbagai konteks.
Model ini menekankan pada pentingnya pengalaman langsung dan refleksi untuk menghasilkan pemahaman yang lebih dalam, bukan hanya teori atau pembelajaran pasif. pertanyaan nya adalah apakah pembelajaran di pesantren kita atau di sekolah yang berada dibawah naungan pesantren kita sudah menerapkan metode tersebut? atau masih hanya menggunakan metode bandungan dimana para santri hanya mendengarkan saja apa yang disampaikan guru? teori ini mengharuskan civitas pesantren untuk tidak hanya menggunakan metode bandungan tetapi harus dibarengi dengan sorogan dan praktik langsung dilapangan untuk menghasilkan proses belajar 'mengalami' atau membuat pengalaman
Kalau kita telaah dalam beberapa hal pesantren sudah mengimplementasikan Concrete Experience misalnya dalam bab fiqih para santri belajar bagaimana cara wudhu dan shalat yang benar sesuai dengan syarat rukunnya, dalam konteks tersebut para santri setiap hari praktik secara langsung wudhu dan sholat hanya saja belum berlanjut pada reflective observation misalnya merefleksikan apakah praktik wudhu dan sholat para santri sudah sesuai dengan teori yang dipelajari kemudian seharusnya melakukan abstract conceptualization misalnya dengan membuat ide agar kesalahan dalam wudhu dan sholat tidak dilakukan kembali dan terakhir active experimentation dengan melihat sejauh mana ide tersebut bekerja dalam berbagai konteks
Harus diakui metodologi pembelajaran di Pesantren masih banyak yang berkutat hanya pada metode bandungan saja. Kami di pesantren Raudhatul Irfan berupaya mengurangi hal tersebut dengan menganjurkan para santri melihat secara langsung kelapangan misalnya ketika belajar tentang bab jual beli, para santri harus mencoba praktik jual beli secara langsung, mempelajari zakat, kita datang langsung ke badan amil zakat melihat bagaimana zakat dikelola, ketika mempelajari bab gadai kita datang langsung ke pegadaian namun jujur belum semua mata pelajaran dipesantren dan belum semua guru mengimplementasikan konsep pembelajaran pengalaman atau experiential learning ini padahal santri lakukan santri faham, santri temukan santri kuasai. Semoga ada perbaikan berkelanjutan, amin.
Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis, 13 November 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar