Hujan
Abadi
Penulis : Tyara Khumaira Azzura
“Enggak Nek, Tata cuman nanya doang kok!”
gadis kecil itu bernama lengkap Ruita Ame. Ditinggal saat masih balita oleh
Ayah dan Ibu memang cukup menyakitkan bagi anak yang belum tahu apa-apa.
Terlebih hanya ditemani Kakak dan Nenek.
Ruita melihat ke arah jendela, ia
dikejutkan oleh air yang melompat layaknya ikan. “Hah? Itu apa?” monolognya.
Gadis kecil itu kemudian menggelengkan kepala menyangka itu hanyalah sugesti
biasa.
Ruita teringat sesuatu, “Kenapa kalo Tata
liat hujan, suka keinget Ibu? padahal Tata lupa muka Ibu kayak gimana,” Ruita
bertanya dengan mata birunya yang memancarkan aura kesedihan. Melihat cucunya
tengah bersedih, Nenek mencoba untuk menenangkannya, “Nanti Nenek ceritain Ibu,
ya?” Mengelus rambut cucunya lalu ia bergumam, “Semoga Tuhan masih memberiku
umur panjang.”
***
a Ruita memandang sedih ke arah batu nisan milik Nenek nya, gadis itu mendongak ketika merasakan air hujan yang menyentuh kening nya. Ia menghembuskan nafas gusar, "Huh.. hujan lagi?" Ruita mengarahkan tangannya ke arah langit, meremasnya, seolah sedang menangkap air itu.
"Semenjak Nenek ga ada, jadi sering
hujan. Kayaknya alam tau kalo Nenek nya Tata udah gak ada, bahkan Nenek belum
sempet nyeritain Ibu. Tau gak? Abang pergi juga Nek, dia takut sama kota
ini." Perasaan Ruita becampur aduk. Antara kesal, sesal, marah, geram
bercampur menjadi satu. Gadis itu terisak.
Isakan gadis tersebut semakin kuat seiring
berjalannya waktu dan juga hujan yang semakin deras mengguyur kota tersebut.
Setelah hujan mulai mereda, Ruita mencoba berdiri guna merilekskan
badannya yang pegal akibat duduk terlalu lama tanpa ampar. Gadis itu menyapukan
pandangannya ke sekitar pemakaman tersebut, dilihatnya seorang lelaki sedang
berjongkok menghadap kuburan yang entah itu milik siapa. Saudaranya mungkin? pikirnya.
Membulatkan tekad, gadis itu menghampiri ke arah lelaki tersebut.
Ditepuknya pundak lelaki itu, dan ia dikejutkan dengan penampilannya, yang
mungkin agak.. kurang enak dipandang? rambut yang acak-acakan, mata
sembap, dan baju yang tidak layak untuk dipakai. "Hai? nama lo
siapa?" tanya Ruita dengan raut wajah khawatir. Lelaki itu hanya
menggeleng, "It's okay kalo lo gak mau jawab, gue boleh tau rumah lo
dimana?" tanyanya lagi. Ternyata Ruita masih tetap tidak diberi jawaban.
Gadis itu menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh milik lelaki misterius disampingnya.
"Lo seumuran sama gue gak sih?"
tanyanya lagi dan lagi.
"Mungkin."
lirih lelaki yang sedang mencabut rumput liar yang tumbuh disekitar batu nisan
yang ada dihadapannya. Ruita mengembangkan senyumnya dikarenakan pertanyaan
yang ia lontarkan berhasil dijawab meski singkat. Kedua insan itu saling
terdiam dengan pikiran masing-masing, sampai...
"Ayo, ikut gue ke rumah!"
ditariknya pergelangan tangan lelaki tersebut dan berjalan keluar dari area
pemakaman.
***
Sesampainya di kediaman Ame, gadis
itu langsung menuju ke arah dapur untuk mengambil air putih, bukan untuk
dirinya. Melainkan untuk lelaki misterius itu.
"Nih, minum dulu. Gue tau pasti lo
capek, kan? maaf, rumah gue emang rada jauh." tawarnya sembari menyodorkan
segelas air putih.
"M-makasih." jawabnya, setelah
menerimanya, lelaki itu langsung meminum isinya hingga tandas. Ruita
mendudukkan bokongnya didekat manusia yang ia tak kenal siapa. Dengan rasa
penasaran yang tinggi, Ruita mencoba menanyakan 'lagi' nama lelaki itu, tak
lupa seraya mengulurkan tangan milik gadis tersebut tentunya.
"Maaf, nama lo siapa? biar lebih enak
aja kalo mau manggil."
"Norman." lirihnya, tanpa
menerima uluran tangan Ruita.
"Emm.. salam kenal ya? gue Ruita Ame,
manggilnya gimana?"
"Sesuka lo." Ruita dibuat bingung
oleh jawaban Norman. Tapi tak apa, bagi orang yang baru kenal pastinya canggung
bukan? "Mau gue anter ke kamar?" ajak Ruita sembari menarik pelan
pergelangan tangan Norman, dan ya! lelaki itu menerimanya.
Setelah diantar ke kamar, Ruita segera menyiapkan makan malam
dikarenakan bulan sebentar lagi akan menampakkan wujudnya. Saat semuanya sudah
siap, saatnya gadis itu memanggil 'teman baru' nya yang sedang istirahat sejenak
di kamar milik Kakaknya, mencapai anak tangga terakhir, Ruita mendengar suara
barang terjatuh.
BRAK..
"Kayaknya barang gede."
Ruita mempercepat langkah menuju kamar, saat membuka pintu ia terkejut lantaran
tubuh Norman sedang tidak ditutupi apapun, alias telanjang. "AAAAAA!!" pipi Ruita berubah merah layaknya
udang rebus, ditariknya handle pintu sampai membuat suara yang memekakkan indra
pendengar. Norman yang melihatnya hanya bisa memasang raut wajah bingung.
"Apaan sih? cuman mau ngambil baju doang, btw bajunya bagus, pasti punya Abang nya" ucap Norman.
Disisi lain, ada gadis yang sedang menahan
malu di dapur, tiada lain dan tiada bukan ialah Ruita Ame. Gadis itu sibuk
dengan pikirannya yang sedang berkelana jauh, "Astaga.. mata gue masih
sehat kan? malu banget sumpah, gimana gue bisa makan sama dia? masa gue makan
duluan sih?" gadis itu meremas bajunya kuat hingga terlihat kusut. Ruita
menoleh saat ia mendengar ada yang memanggil namanya, "Ruita."
panggil lelaki dengan sebutan Norman itu.
Norman melangkahkan kakinya mencari keberadaan Ruita, "Y-ya? apa
Norman?" jawabnya gugup. "Laper," ujarnya. "Ayo m-makan
yuk!" Ruita menghampiri Norman yang berjarak beberapa meter dari tempat ia
berdiri, diraih tangan dingin Norman untuk menghampiri meja makan, mereka
duduk, membaca do'a sesuai kepercayaan masing-masing, dan memakan makanan yang
tersedia tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, hanya terdengar suara sendok yang
beradu dengan piring.
Setelah makan malam, waktunya untuk bersantai bukan? tapi itu berlaku
hanya untuk orang-orang biasa, tidak berlaku untuk kedua insan ini, mereka
duduk di sofa dan saling melempar pandang satu sama lain tanpa ada seorangpun
yang memulai obrolan.
Sampai tiba saatnya untuk Norman memberanikan diri memulai percakapan.
"Ruita?"
"Hm?" gadis itu menoleh saat Norman
memanggilnya.
"Gue tau tujuan lo bawa gue kesini. Lo
mau ngajak gue bikin rencana, kan?"
Tepat sasaran! Ruita terlihat
panik tapi memang benar gadis itu berniat untuk merancang rencana dengan lelaki
ini, dan sialnya ia dibuat kaget dengan tatapan nya yang tidak biasa. Nerawang masa depan, ya? batinnya. Gadis
itu akhirnya angkat tangan tanda menyerah.
"Tau dong? yah.. kalah, tapi gak apa. Lo mau kan bikin rencana sama
gue?" gadis itu mengangkat alis sembari melemparkan senyuman miring, senyuman
yang dapat menghipnotis jiwa Norman. Lelaki itu tercengang beberapa detik
sampai ia menggelengkan kepala mencoba untuk sadar.
Setelah itu, Norman menganggukkan kepala guna menyetujui tawaran Ruita.
"Bisa, tapi sebelumnya gue
pengin tau tentang hidup lo. Boleh?" soalnya
gue pengin tau langsung dari mulut lo tanpa tau dari kekuatan gue, sambungnya
dalam hati. Ruita menghembuskan nafas dan mulai bercerita.
"Jadi, bisa dibilang gue
terlahir dari keluarga yang 'ada', tapi keluarga gue gak lengkap. Ayah sama Ibu
meninggal karena kecelakaan pas mau nganter gue ke Posyandu. Abang gue pergi
karena takut sama kota ini yang sering hujan, Nenek gue meninggal karena
penyakit sialan. Namanya penyakit jantung iskemik."
Ruita menahan tangis, untung saja gadis itu langsung mengusap air
matanya. Ruita menoleh ke arah Norman, "Lo?" lirihnya, Norman
tersadar dari lamunannya, "Oh ya! g-giliran gue ya?" lelaki itu
menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Yaudah mulai.. Jadi gue terlahir
dari keluarga yang kurang 'ada', gue tinggal di kampung, bonyok gue sering berantem dan gak pernah akur, kenapa bonyok gue gak cerai aja coba? gue
dianggurin terus, dikasih makan pun jarang. Gue pernah ngeluh karena gak ada
makanan di meja, terus bokap gue
nyuruh gue buat nyuri, miris ya? dan yang lo liat tadi siang di pemakaman itu,
itu Adik gue. Dia meninggal karena nolongin nyokap yang mau ditusuk."
Norman bercerita seperti tidak ada kesedihan didalam ucapannya itu. Tak terasa
mereka saling bertukar cerita sampai pukul satu dini hari, dirasa sudah
mengantuk Ruita bangkit dari duduknya.
"Besok aja kita bahas rencananya. Oh!, lo tidur di kamar yang tadi.
Selamat malam."
final gadis itu, dan melenggang
pergi meninggalkan lelaki tersebut. Norman mengangguk, "Selamat malam
juga, Nona."
***
Sinar matahari mulai mumunculkan
diri, waktunya untuk membangunkan para manusia yang tengah sibuk dengan
mimpinya masing-masing. Ruita terbangun dikarenakan gorden kamarnya dibuka oleh
seseorang dan Norman-lah pelakunya. Gorden yang dibuka oleh Norman membuat
sinar matahari memaksa untuk masuk guna mambangunkan Sang Putri Tidur.
Gadis itu mengerjapkan mata berkali-kali seraya menguceknya. Norman
menoleh ke arah Ruita yang terlihat lucu dengan muka bantal yang gadis itu
ekspresikan.
"Lucu." lirihnya, tentu saja Ruita tidak mendengarnya karena
suara yang Norman keluarkan teramat pelan. "Norman.." Norman tak
menggubriskan panggilan dari Ruita lantaran tengah sibuk melipat selimut dan
membereskan bantal bekas pakai Ruita.
Norman meraih tangan Ruita untuk mengajaknya berdiri, Ruita hanya
menurut saja karena malas untuk
berbicara, dan kantuk yang terus mencoba untuk menutup matanya.
"Ayo bangun, gue udah buatin
onigiri. Lo pasti suka." ajak Norman, Ruita mengangguk sebagai jawaban.
Setibanya di Dapur, Norman menuntun Ruita untuk duduk di kursi yang
telah tersedia disana, lalu Ruita disodorkan segelas air putih untuk
menyegarkan tenggorokan sebelum makanan yang terlebih dahulu masuk. Ruita
menerimanya lalu meminumnya dengan mata yang masih tertutup rapat. "Udah
jam delapan, dan lo masih merem? gue di Rumah bangun jam lima pagi buat nyiapin
makan Adik gue sama bonyok gue,
walaupun kadang gak disentuh sama sekali. Dan sekarang gue mau nyobain rasanya
makanan buatan gue buat dimakan sama orang lain, meskipun itu bukan keluarga
gue sendiri." kantuk yang menyerang Ruita sirna begitu saja ketika
mendengar penuturan yang Norman lontarkan. "Nih. Kalo mau lagi, tinggal
bawa aja." onigiri yang telah dibuat sedemikian rupa ditambah sepasang
mata yang terbuat dari rumput laut tersebut berhasil memancing rasa lapar gadis
yang tengah menatap meja makan itu, setelah berbincang santai, keduanya melahap
onigiri yang menjadi sarapan kedua manusia yang berawal asing dan dingin, telah
menjadi kenal dan hangat antar keduanya. Onigiri itu habis tak tersisa didalam
piring khas penduduk Jepang tersebut.
"Abis ini lo mandi, terus
kita ke cafe deket sini. Kita bicarain rencananya disana." titah Ruita.
Norman membalasnya dengan anggukkan sembari memamerkan senyumannya. "Siap
Putri."
Sesudah mereka menyelesaikan acara membersihkan tubuh, keduanya langsung
memasuki mobil milik Ruita dan pergi meninggalkan rumahnya dengan dipenuhi
kenangan tersebut.
***
Hanya butuh 30 menit saja untuk
sampai di cafe tersebut, cafe dengan bertuliskan 'Lamp Caffe', tentu cafe itu
dipenuhi lampu remang-remang, menambah kesan tenang. Tempat yang pas untuk
mengerjakan tugas atau sekedar berbincang. Kedua insan itu duduk di bagian
pojok guna pembahasan mereka yang bersifat rahasia ini tidak ada yang mendengar.
"Jadi gimana?" tanya Norman.
"Mau mesen dulu, bentar." Norman menghembuskan nafas
mendengarnya.
"Ya, sana. Pesenin juga buat gue." Ruita mengangguk sebagai
balasan. Mereka memesan menu yang sama, yaitu Sakura tea. Hanya beberapa menit
menunggu pesanan mereka, keduanya menunggu sembari membahas hal yang tidak
penting, seperti saat di perjalanan, Ruita melihat kucing yang sedang meminta
makanan di warung, anak bebek yang menyeberangi jalan, dan lain-lain yang mampu
membuat mereka tertawa.
Sakura tea sudah berada di meja mereka, saatnya mereka membahas rencana
yang akan membuat energi keduanya terkuras saat mengerjakan rencana tersebut.
"Gini, gue pgn berhentiin hujan ini, kayak nya udah banyak yang
mulai pergi dari kota ini deh, gimana caranya? masa kita harus ke dunia Dewa
Dewi dulu?" Ruita memulai pembicaraan dengan serius.
"Gak usah, gue takut kalo kita kesana, malah di musnahin hahahaha.
Gue gak tau cara ngomongnya." Norman menanggapinya dengan candaan, gadis
itu kemudian mencubit lengan Norman, membuat lelaki itu mengeluarkan ringisan
kecil, bukan cubitan biasa batinnya. "Serius Norman!" Ruita
dibuat kesal oleh tingkah Norman yang seolah-olah tidak menghargai Ruita saat
di mode serius. Norman tersenyum kikuk kala melihat mimik wajah kesal Ruita,
lalu Norman mencoba menerawang masa depan dengan kekuatannya, Ia hanya melihat
sebuah Kuil. dan itu adalah Kuil tertua di Jepang, bernama Kuil Gango-Ji.
"Cuman ada Kuil Gango-Ji yang gue liat, kita harus kesana." ajak
Norman. Ruita mengangguk samar, terlihat dari raut wajahnya yang kusut akibat
jarak dari tempat mereka dengan jarak Kuil itu sangatlah jauh, ditambah hujan
deras yang sedang melanda kota tersebut, tapi Norman berusaha untuk membujuk
Ruita dan meyakinkan dirinya bahwa tidak akan ada salahnya jika mencoba untuk
kesana, karena lelaki itu tahu bahwa kekuatannya tidak akan meleset, bahkan
belum pernah ada kejadian dimana kekuatan menerawang masa depan milik Norman
itu meleset sedikit atau pun salah.
Norman mencoba menghibur gadis yang sedang cemberut itu dengan mengelus
pucuk kepalanya, Ruita merasa lebih baik dari sebelumnya. Setelah itu, Norman
menarik pelan pergelangan tangan yang terasa mungil bagi lelaki itu. "Ayo
kita kesana, gantian aja nyetirnya, gue pernah di ajarin bawa mobil. Gak usah
takut, ya?" bujuk Norman, Ruita tersenyum lalu mengangguk, "Iya,
harus janji." gadis itu mengulurkan jari kelingking nya lalu diterima oleh
Norman, mereka menautkan kedua jari kelingking tersebut. Setelah itu, mereka
pergi membayar dan langsung melanjutkan perjalanan.
***
Perjalanan memakan waktu kurang
lebih dua jam, dan giliran Norman yang mengambil alih setir mobil, mungkin yang
Norman pikirkan saat ini mengenai mimik wajah Ruita adalah lelah, dan pegal.
Tibalah mereka di sebuah kuil tertua di Jepang, untung saja tidak ada
orang banyak yang sedang mengunjungi nya. Mereka keluar dari mobil dan
melangkah mendekati kuil itu berada. Tatapan Ruita teralihkan saat melihat ada
seekor rubah ekor sembilan dengan warna bulu keemasan itu berjalan menghampiri
keduanya, alangkah terkejutnya ia saat melihat rubah itu berubah menjadi
seorang wanita cantik dengan kimono yang melekat di tubuh ramping miliknya.
"Selamat datang di Kuil Gango-Ji, ada perlu apa?" tanya wanita
rubah itu dengan suaranya yang amat lembut.
"Kami ingin memanjatkan do'a, apakah masih beroperasi Kuil
ini?" Norman mewakili Ruita yang hendak berbicara, gadis itu berdecak
malas dibuatnya.
"Tentu saja! biar saya antar." wanita rubah itu berjalan
mendahului Norman dan Ruita, mengundang banyak tanda tanya di benak mereka.
Sesampainya di dalam kuil, mereka dihidangkan segelas uroncha atau kerap
disebut oolong tea.
"Sebelum kalian berdo'a,
lebih baik kalian meminum uroncha terlebih dahulu, silahkan." Norman dan
Ruita saling melempar pandangan sebelum meminum teh tersebut. Gelas yang
tadinya berisi uroncha, sekarang sudah habis ditelan kedua insan itu,
"Uroncha-nya the best lah! gak
bohong gue," Norman memberikan komentar positif seraya menunjukkan jari
telunjuk dan jari tengah terangkat seperti huruf V. Wanita Rubah itu terlihat
senang, ia mengambil gelas kosong dari genggaman Norman dan Ruita untuk
disimpan ke nampan tempat asal gelas itu diletakkan. "Silahkan panjatkan
do'a kalian, pasti Kami-sama akan langsung mengabulkannya, saya pamit
dulu." Pamit wanita rubah tersebut, dan segera meninggalkan tempat Norman
dan Ruita berdiri saat ini.
"Semoga do'a kita dikabulkan." telapak tangan Norman menyatu,
tanda berdo'a dimulai, Ruita mengangguk dan melakukan hal yang seharusnya
dilakukan saat datang ke Kuil. Mereka berdo'a dengan tujuan yang sama, yaitu
menghentikan hujan yang terus menerus turun ke kota itu.
Kami-sama, tolong berikan saya
kekuatan untuk menghentikan hujan ini, semoga usaha saya dan gadis di samping
saya tidak sia-sia. Kami mohon, Kami-sama.. Batin Norman, lelaki itu
berdo'a sembari sesekali melirik ke arah Ruita, gadis itu juga terlihat sangat
serius, membuat Norman terkekeh kecil dibuatnya.
Lima menit terasa lima jam bagi mereka di dalam kuil itu, saat mereka
ingin keluar dari kuil tersebut, terlihat ada secercah cahaya menghampiri,
mereka berfikir itu adalah kedatangan wanita rubah yang tadi, ternyata bukan.
Ruita mencoba menangkap cahaya tersebut yang sedang berputar-putar
mengelilingi mereka. Saking cepat Ruita mengejar, semakin cepat pula cahaya itu
menjauh, membuat Norman dan Ruita pusing melihatnya.
"Apaan sih? cahaya nyusahin!" Ruita meninju udara dengan
perasaan kesal.
"Sabar, siapa tau kalo lo diem, nanti cahayanya berhenti."
saran Norman.
Ternyata benar apa yang Norman
ucapkan barusan, belum lama setelah itu cahaya yang sedang berputar seketika
berhenti di hadapan mereka, cahaya tersebut berubah menjadi bola air.
Saat Norman ingin menyentuhnya, bola air itu lagi-lagi berubah menjadi
seekor naga air. Mereka tentu saja terkejut, Norman menyenggol lengan Ruita.
"Naga?" tanyanya tak percaya saat melihat fenomena ini. Keringat
gadis itu bercucuran, ditambah dengan perasaan takut, Ruita menggeleng menjawab
pertanyaan yang Norman lontarkan. "Gak tau, takut Man." jawabnya
seraya meremas ujung pakaian yang sedang dikenakan oleh Norman.
Naga tersebut memberi isyarat kepada Norman dan Ruita untuk menungganginya.
Norman terlihat santai saat hendak menaiki punggung naga itu. Namun tidak
dengan Ruita, gadis itu ketakukan melihat sosok naga yang besar dan mungkin
menyeramkan?
Norman menghembuskan nafas, lelaki itu mengulurkan tangan yang dibalas
tatapan tidak yakin yang dibuat Ruita. "Kalo jemping, gimana?" Norman menggelengkan kepala seraya terkekeh
melihat raut wajah Ruita yang menurutnya lucu, "Kok bisa mikir gitu?
enggak lah! kayaknya ini cara Kami-sama nolong kita. Gue yakin." lelaki
tersebut meyakinkan Ruita dengan cara menatap mata gadis itu yang berkaca-kaca,
"Jangan takut." Norman berbisik tepat di telinga kanan Ruita,
membuatnya merinding ketika mendengar suara berat yang lelaki dihadapannya ini
keluarkan.
Norman memanfaatkan momen yang ada dengan mengangkat tubuh mungil gadis
itu untuk duduk didepannya. "Biar cepet." ujarnya, Ruita yang
diangkat seperti itu tentu kaget atas tingkah Norman, "Nyebelin!"
gadis itu memukul-mukul lengan kekar milik Norman.
Dirasa sudah lama drama yang membuat naga ini menunggu, barulah Norman
menepuk sisi punggung naga itu, "Ayo, kita berangkat." naga itu
mengangguk lalu keluar dari Kuil dan terbang perlahan ke arah langit, terlihat
percikkan air yang dikeluarkan oleh naga tersebut. "Ke langit? ngapain?"
Ruita berbalik dan bertanya kepada Norman, "Liat aja, semoga ini pertanda
baik."
Mereka tiba di langit, naga itu menurunkan mereka di awan, lalu pergi
dari sana. Norman dan Ruita berfikir mereka akan jatuh saat menapak awan,
ternyata dugaannya salah. Awan yang menjadi pijakkan, terasa seperti kapas
dengan jumlah banyak ketika diinjak.
Tak jauh dari tempat mereka berdiri, mereka melihat ada berbagai tombol
terbuat dari awan, Norman melirik ke arah Ruita dan mengangguk, gadis itu
membalasnya dengan anggukkan yang sama. Mereka berlari ke arah tombol itu.
Setelah sampai, Ruita kagum melihat berbagai macam tombol di hadapannya,
"Ohh, ini cara setting
cuaca?" monolognya, "Ternyata disini tombol 'hujan' nya gak di
matiin, jadinya hujan terus." pikir Norman, jemari Norman terulur untuk
menekan tombol 'cerah' disamping tombol 'hujan' itu.
Satu menit berlalu dan hujan pun mereda dibawah sana. Keduanya
menghembuskan nafas lega karena usaha nya tak sia-sia. Norman mengajak Ruita
untuk melakukan tos, dan gadis itu menurutinya. "Good job!" ujar
keduanya kompak. Kedua manusia itu tertawa lepas karena bahagia.
Setelahnya, Norman berlutut dihadapan Ruita dengan raut wajah kemerahan
menahan malu. Lelaki itu mengulurkan tangan dengan membawa bunga mawar yang
terbuat dari awan, dia mengumpulkan sedikit demi sedikit awan yang mereka
lewati saat di perjalanan menuju kemari.
"Gue.. gue mau ngucapin terima kasih sebanyak-banyaknya sama lo, lo
udah ngebantu gue, bahkan sampai di titik ini. Gue pengen lo jadi partner gue.
Partner gue buat mecahin segala teka-teki kisah kita nanti." ungkap lelaki
tersebut. Ruita tercengang mendengarnya. Dengan tangan yang gemetar, gadis itu
menerima bunga mawar tersebut dan menggenggamnya erat.
"Seharusnya gue yang berterima kasih ke lo, Emm, gue.. mau jadi
partner lo. Walau pertemuan kita singkat, mungkin akan menjadi pertemuan yang
bersejarah. Semoga saja." Mungkin bagi kalian, cara bertemu mereka itu
sedikit konyol. Namun bagi mereka, terutama Norman, ia bisa mendapatkan
kehangatan dan kebersamaan walaupun bukan dari keluarga sendiri. Hidup akan
berputar layaknya roda, akan ada saatnya kita berada diatas, di puncaknya. Dan
itu yang sedang dirasakan keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar