Catatan Hasil Bahtsul Masail LBMNU Ciamis
Penulis : Irfan Soleh
Pagi tadi, 29 Mei 2022, setelah Olah Raga bersama para santri, saya menghadiri undangan Olah Fikir yaitu acara Bahtsul Masail perdana pengurus baru Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PCNU Ciamis. Jujur saya sangat senang sekali ketika forum ilmu semacam ini sering berlangsung karena banyak sekali permasalahan kekinian yang perlu jawaban ilmiahnya. Ada 3 deskripsi masalah yang seharusnya dibahas namun berhubung waktunya terbatas akhirnya hanya satu deskripsi masalah dengan 3 pertanyaan yang berhasil dibahas yaitu terkait dengan Infaq yang ditentukan waktu, besaran dan bahkan jenisnya juga terkait dengan hukum ulil amri dan atau badan atau lembaga zakat infaq shadaqoh yang menerbitkan sejenis surat edaran yang berisi himbauan (yang mungkin pada praktiknya seperti keharusan) untuk mengeluarkan sejumlah infaq tertentu kepada masyarakat. Isu ini sedang hangat di Ciamis dan tentunya memerlukan jawaban dengan referensi yang bisa dipertanggung jawabkan. Seperti apa jawaban pertanyaan diatas?
Pada deskripsi masalah pertama disebutkan bahwa infaq itu berbeda dengan zakat maupun pajak. Infaq dikeluarkan secara sukarela oleh munfiq karena mengharap keridhoan Allah SWT semata, baik waktunya maupun besarannya dan bahkan jenisnya. Kemudian bagaimana hukumnya jika infaq ditentukan waktunya seperti infaq ramadhan atau infaq bulanan? Jawaban adalah menentukan kebijakan waktu infaq atau amal kebajikan lainnya yang memang dibebaskan oleh syariat untuk dilakukan kapanpun, seperti infaq ramadhan atau infaq bulanan bukanlah hal yang dilarang oleh syariat sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqolani bahwa hadits Ibnu Umar r.a. dan Sahabat Bilal bin Rabah sebagai dasarnya. Hadits Ibnu Umar terkait dengan kebiasaan Nabi Muhammad SAW mendatangi mesjid Quba pada setiap hari sabtu. Muhammad al Amin bin Abdullah al Alawi al Harari asy Syafii dalam kitab al kaukab al wahhaj wa raudhal bahhaj fi syarh sahih muslim ibn al khajjaj mengutip pendapat al Qurtubi menyatakan bahwa boleh menentukan waktu-waktu amal sholeh dan melanggengkan dalam waktu-waktu tersebut sehingga boleh menentukan waktu berinfaq dan melanggengkan pada waktu tersebut. Referensi yang dipakai untuk menjawab pertanyaan pertama sebenarnya masih banyak namun dalam tulisan ini kita bahas satu saja.
Pertanyaan kedua bagaimana pandangan mubahitsin tentang infaq yang besarannya bahkan jenisnya ditentukan misalnya harus dengan uang sebesar Rp. 2.500. Jawabannya adalah diperbolehkan dengan syarat untuk kemaslahatan umum. Referensinya adalah kitab Tasyri Al Jinai fil Islam dikatakan bahwa undang-undang atau peraturan dianggap legal dan bisa dijalankan serta dipatuhi bila tidak bertentangan dengan syariat dan kembali kemaslahatnnya untuk rakyat. Meskipun didalam kitab al mausuah al fiqhiyah al kuwaitiyah dikatakan bahwa tidak boleh membatasi hal yang tidak wajib seperti shodaqoh kecuali ikhlas. Kemudian pertanyaan ketiga bolehkan ulil amri atau lembaga ziswaf menerbitkan sejenis surat edaran yang berisi himbauan untuk mengeluarkan sejumlah infaq tertentu kepada masyarakat? Berdasarkan kitab Bugyatul Mustarsyidin hal 251 pemerintah boleh menarik iuran dari masyarakat asalkan disertai kerelaan bukan paksaan. Menurut kitab Hasyah Bujairimi Diperbolehkan menarik atau mengedarkan surat edaran untuk mengeluarkan jumlah infaq tertentu dari semua lapisan masyarakat yang sudah dikenai zakat fitrah.
Menurut Qaul yang unggul / mutamad jika infaq sodaqoh yang dikenakan ketentuan jumlah nominalnya melebihi kadar zakat fitrah maka diperbolehkan hanya untuk orang atau masyarakat yang mampu/ kaya (bisa memenuhi kecukupan hidup standar selama setahun untuk dirinya dan keluarganya). Namun jika negara ingin mengambil penarikan atau iuran kepada rakyatnya harus memenuhi beberapa syarat berikut ini ( referensinya diantaranya menurut kitab al mausuah al fiqhiyyah al kuwaitiyah ) yaitu 1) betul-betul ada kebutuhan yang mendesak, 2) dikelola secara adil sesuai standar keuangan seperti transparan, sesuai kebutuhan, efektif efisien dan menjungjung tinggi asas keadilan, 3) di tashorufkan untuk kepentingan muslimin, 4) di tashorufkan dengan pertimbangan kebutuhan dan kemaslahatan, 5) dibebankan kepada orang yang mampu (kaya) sekiranya tidak mengakibatkan dhoror dari infaq yang dikenakan, 6) kekosongan/ketidakcukupan baitul mal/ kas negara yang tidak mungkin tertutupi pada waktu dekat dari sektor lain, dan 7) tidak boleh membebankan kepada orang kaya/ mampu kecuali atas dasar kerelaan. Sebenarnya masih banyak referensi yang dibahas pada bahtsul masail siang tadi dan tidak bisa dimuat semua dalam tulisan ini. Mohon koreksi nya jika ada kesalahan penulisan atau kesalahan lainnya.
Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis , 29 Mei 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar