Minggu, 12 Desember 2021

Metodologi Pengajaran Tafsir ala Ajengan Sukahideng


 "Metodologi Pengajaran Tafsir ala Ajengan Sukahideng"

Penulis : Irfan Soleh 

Sebagai alumni Sukahideung, sudah seharusnya kita mengetahui sejarah perjuangan KH. A Wahab Muhsin agar bisa meneladani ragam kebaikan yang dilakukan guru-guru kita. Hadirnya novel biografi beliau tentu menjadi bacaan wajib bagi saya agar bisa mengikuti jejak langkah beliau dalam menyalakan, menguatkan, menjaga, memaknai dan menebarkan Cahaya, Cahaya Muhsin. Tulisan ini hanya ingin mengutip satu fragmen Cahaya dari beragam Cahaya yang kami dapatkan setelah membaca Novel Cahaya Muhsin khususnya dalam metodologi Pengajaran Tafsir Jalalain. Bagaimana cara Ajengan Sukahideng mengajarkan tafsir pada santri-santri nya? 

Pak Kyai (Ajengan Sukahideung) begitu mengagumi Tafsir Jalalain terutama seputar kepadatan dan keringkasan bahasanya. Beliau adalah orang yang suka akan substansi, suka akan wawasan tinggi, suka akan pembahasan yang mendalam. Ngaji bukanlah tentang mengkhatamkan kitab melainkan memahami apa yang dikaji sehingga sehingga dalam pengajian tafsir Jalalain pun Pak Kyai seringkali memberikan tambahan wawasan dari tafsir-tafsir lain bahkan tak jarang beliau mendemonstrasikan istidlal (cara pengambilan dalil) dalam ushul fiqh. Am dan Khusus, Mutlaq dan Muqoyad, Nasikh dan Mansukh, tak jarang juga sampai membahas Asbabun Nuzul (asal kejadian sebab turunnya ayat).

Jika kebetulan ayat yang sedang dipelajari mempunyai irisan dengan perkembangan ilmu  yang sedang berkembang atau mempunyai keterhubungan dengan permasalahan yang sedang update, Pak Kyai Sukahideng tak enggan untuk memasuki "diskusi" sambil memberikan pendapat-pendapatnya. Contohnya Pengajian Tafsir QS ar Rahman ayat 33 pada tahun 1969. Kala itu dunia sedang dihebohkan oleh pendaratan pesawat Apollo 11 yang berhasil mendarat dibulan. Pak Kyai mengutip tafsir Ibnu Katsir, Tafsir At Thabari dan Tafsir al Qurtubi. Dengan mengutif tafsir al Qurthubi, pak kyai percaya bahwa manusia bisa mendarat di bulan padahal pada tahun 1960 pandangan Pak Kyai Sukahideng masih dianggap aneh. Bahkan ungkapan "mujtahid kesiangan", "ajengan kumaha karep sorangan", "anak muda tak tahu etika" kerap disematkan pada beliau.

Kecerdasan, kepasihan, keapikan dalam membahas masalah-masalah agama, terutama keberaniannya dalam melancarkan pembaharuan, membuat nama Ajengan Sukahideung semakin kakoncara. Di Novel ini banyak contoh yang diberikan seperti bagaimana beliau membahas dalil Qurban dengan kerbau, shalat sunnat qobla jum'at, dan lain-lain. Penulis Novel Cahaya Muhsin didalam footnote nya menyebutkan punya banyak data tentang diskusi KH A. Wahab Muhsin dengan teman-teman Persis dan Muhammadiah. Kedalaman ilmu Ajengan Sukahideung juga ditunjukan ketika beliau membahas Tafsir QS An Nur ayat 33 hingga muncul tradisi berkerudung 'model Sukahideng' yang berbeda dengan kebiasaan santriah pada masa tahun 1960-an atau 1970-an yang bertutup kepala hanya mengenakan kain yang digantungkan di atas kepala, sebagian rambut bagian depan nampak terlihat, begitupun bagian leher tidak tertutup kain.

Ketika membahas Tafsir QS An Nur ayat 33, Ajengan Sukahideng menjelaskan bahwa pada Madzhab Hanafiah, beberapa ulama tidak menganggap bahwa rambut adalah aurat, karena bagi mereka rambut adalah biasa nampak dalam kehidupan budaya mereka sehari-hari. Beliau juga menjelaskan bahwa pada madzhab hambali, sebagian ulama nya menganggap bahwa yang biasa nampak adalah mata saja, itu sebabnya mereka mewajibkan perempuan untuk bercadar. Pak Ajengan pun menjelaskan bahwa dalam madzhab syafi'i yang biasa nampak itu adalah wajah dan telapak tangan. Dan Pak Ajengan mengikuti madzhab Syafi'i sehingga memilih model kerudung yang menutup seluruh rambuat, leher dan dada. Sehingga seluruh santri putri Sukahideng menggunakan model kerudung sesuai pendapat Imam Syafi'i. Telekung model Sukahideung tersebut yang mengikuti pendapat madzhab imam syafi'i ada yang mencibir dengan mengatakan sebagai kerudung persis atau muhammadiah (pada masa itu ormas-ormas islam masih kencang dalam perdebatan khilafiyah furuiyah).

Banyak ilmu yang saya dapatkan dari Novel Cahaya Muhsin ini. Cuplikan bagaimana keluasan ilmu beliau ketika mengajar tafsir Jalalain mudah-mudahan memicu kita untuk terus mendalami beragam tafsir dan mendalami ragam keilmuan lainnya sehingga bisa memahami ayat dari berbagai perspektif seperti KH. A. Wahab Muhsin. Semoga kami sebagai alumni Pesantren Sukahideng bisa meneladani beliau, dari mulai keikhlasannya, perjuangannya, keluasan ilmu nya, kreatifitasnya dan lain sebagainya. Akhirnya selepas membaca Novel ini saya berziarah ke makam beliau sambil berdo'a kepada Allah SWT mudah-mudahan Allah memberikan kecerdasan dan kefasihan ilmu tidak hanya kepada Pak Kyai, KH. A. Wahab Muhsin tetapi juga kepada kita para santri yang mudah-mudah an diakui sebagai murid beliau. Semoga...Amin... 


Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis, 11 Desember 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar